Anak
Kecil Pemain Drum
oleh
Charlie Coulson
Saya seorang ahli bedah di Angkatan Tentara Amerika Serikat sewaktu
Perang Saudara. Sesudah Pertempuran Gettysburg, terdapat beratus-ratus prajurit
yang terluka di rumah sakit tempat saya bertugas. Banyak yang harus diamputasi
kaki atau lengannya karena luka-luka yang terlalu parah, dan ada kalanya
kedua-duanya, harus diamputasi. Salah seorang dari mereka adalah seorang anak
belasan tahun yang baru tiga bulan bergabung dengan angkatan tentara. Karena ia
masih terlalu muda untuk menjadi seorang prajurit, ia didaftarkan sebagai
pemain drum. Sewaktu para perawat mau memberikan obat bius sebelum operasi
amputasi, ia membalikkan kepalanya dan menolak untuk menerimanya. Ketika mereka
memberitahunya bahwa itu adalah perintah dari doktor, ia berkata, "Panggil doktor ke mari." Saya
menghampiri tempat tidurnya dan berkata, "Anak
muda, mengapa kamu menolak untuk menerima obat bius? Ketika saya menemukan kamu
di medan pertempuran, saya hampir tidak mengangkat kamu karena kamu sudah
sekarat. Tapi ketika kamu mencelikkan mata saya melihat matamu yang biru dan
besar, terlintas di benak saya bahwa entah di mana seorang ibu sedang
memikirkan anaknya. Saya tidak mau kamu mati di medan tempur, jadi saya membawa
kamu ke sini. Tapi kamu sudah kehilangan terlalu banyak darah dan terlalu lemah
untuk menjalani operasi ini tanpa obat bius. Sebaiknya kamu ijinkan saya untuk
memberinya kepada kamu."
Ia meletakkan tangannya di atas tangan saya, memandang wajah saya dan
berkata, "Doktor, pada suatu hari
Minggu, ketika saya berumur sembilan setengah tahun, saya menyerahkan hidup
saya kepada Kristus. Sejak itu saya belajar untuk mempercayaiNya, saya tahu
saya dapat mempercayaiNya sekarang. Ialah kekuatanku, Ia akan menopang saya
saat kamu memotong lengan dan kaki saya." Saya bertanya apakah ia mau
meminum sedikit minumum keras untuk meringankan rasa sakitnya. Sekali lagi ia
memandang saya dan berkata, "Doktor,
ketika saya berumur sekitar 5 tahun, ibu saya berlutut di samping saya seraya
merangkul saya dan berkata, "Charlie, saya berdoa kepada Yesus agar kamu
tidak akan pernah mencicipi setetespun minuman keras. Bapamu mati karena ia
seorang pemabuk, dan saya telah meminta Allah untuk memakai kamu untuk
memperingatkan orang lain tentang bahaya minuman keras, dan untuk mendorong
mereka agar mengasihi dan melayani Tuhan." Saya sekarang berusia 17 tahun,
dan saya tidak pernah meminum minuman yang lebih keras dari teh atau kopi.
Kemungkinan saya mati dan bertemu dengan Tuhan sangatlah tinggi. Apakah kamu mau
mengutus saya ke sana dengan mulut yang berbau minuman keras?" Saya
tidak akan pernah melupakan pandangan anak kecil itu saat ia menatap saya pada
waktu itu. Pada waktu itu, saya membenci Yesus, tapi saya menghormati kesetiaan
anak kecil itu kepada Juruselamatnya. Dan tatkala saya melihat betapa ia
mengasihi dan mempercayaiNya sampai pada akhirnya, sesuatu menyentuh hati saya.
Saya melakukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan untuk prajurit yang lain
- saya bertanya apakah ia mau bertemu dengan pendetanya.
Pendeta resimen sangat mengenal anak kecil itu karena ia sering mengikuti
pertemuan-pertemuan doa di kamp. Ia memegang tangannya dan berkata, "Charlie, saya kasihan melihat keadaan
kamu seperti ini." "Oh,
saya tidak apa-apa, pak," jawab Charlie. "Doktor telah menawarkan obat bius kepada saya, tapi saya
memberitahunya saya tidak membutuhkannya. Lalu ia mau memberikan kepada saya
minuman keras, yang juga saya tolak. Jadi sekarang, jika saya dipanggil
Juruselamat saya, saya dapat pergi dengan akal budi yang waras dan sehat."
"Kamu tidak boleh mati,
Charlie," kata pendeta, "tapi
jika Tuhan memanggil kamu pulang, apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan
bagimu?" "Pak Pendeta,
tolong ambilkan Alkitab yang ada di bawah bantal. Alamat ibu saya ada di dalam
dan tuliskan surat kepadanya. Beritahu dia bahwa sejak saya meninggalkan rumah,
tidak ada satu haripun - apakah ketika saya sedang berbaris di lapangan, di
medan tempur, atau di rumah sakit - yang berlalu tanpa saya membaca sebagian
kecil Firman Allah, dan setiap hari berdoa agar Tuhan memberkati dia."
"Apakah ada hal lain yang dapat saya lakukan bagimu, anakku?"
tanya Pak Pendeta. "Ya, tolong
tuliskan surat kepada guru sekolah Minggu di Gereja Sands Street di Brooklyn,
New York. Beritahu dia bahwa saya tidak pernah melupakan dorongan, nasihat dan
doa-doanya bagi saya. Mereka telah membantu saya dan menghiburkan saya selama
saya melewati mara bahaya di medan pertempuran. Dan sekarang, di saat-saat
menjelang kematian saya, saya bersyukur kepada Tuhan untuk guru tua yang sangat
saya kasihi, dan meminta Tuhan agar memberkati dan menguatkan dia. Itu
saja."
Lalu, ia menoleh kepada saya, lalu berkata, "Saya siap doktor. Saya berjanji saya tidak akan mengerang ketika
anda memotong lengan dan kaki saya, jika anda tidak menawarkan saya obat
bius." Saya berjanji, tapi saya sendiri tidak memiliki nyali untuk
mengangkat pisau bedah tanpa terlebih dahulu masuk ke kamar saya dan meminum
sedikit minuman keras. Ketika memotong dagingnya, Charlie Coulson tidak pernah
mengerang kesakitan. Tapi ketika saya mengambil gergaji untuk mengergaji
tulangnya, ia menggigit hujung bantalnya dan saya dapat mendengarnya berbisik, "O Yesus, Yesus! Sertailah aku
sekarang." Ia memenuhi janjinya; ia tidak pernah mengerang sama
sekali. Malam itu saya tidak dapat tidur. Tidak kira ke arah mana saya
berpaling, saya melihat mata birunya yang lembut itu. Kata-katanya, "Yesus, sertailah aku sekarang",
terus berdengung di telinga saya. Sedikit melewati tengah malam, saya akhirnya
meninggalkan tempat tidur saya dan mengunjungi rumah sakit - sesuatu yang tidak
pernah saya lakukan sebelum itu melainkan terdapat kasus gawat darurat. Saya
mempunyai satu kerinduan yang kuat dan aneh untuk melihat anak itu. Ketika saya
tiba di situ, saya diberitahu oleh perawat bahwa 16 dari prajurit yang luka
parah sudah meninggal dunia. "Apakah
salah seorang darinya Charlie Coulson?" saya bertanya. "Tidak, pak," ia menjawab, "Charlie sedang tidur manis seperti
bayi." Bila saya mendekati tempat tidurnya, salah seorang perawat memberitahu
saya bahwa sekitar jam 9 malam, dua anggota YMCA mengunjungi rumah sakit dan
menyanyikan lagu-lagu himne. Pak Pendeta menyertai mereka. Ia berlutut di
samping tempat tidur Charlie dan menaikkan doa yang berapi-api dan menyentuh
jiwa. Lalu, tetap dalam keadaan berlutut, mereka menyanyikan lagu "Yesus, kekasih jiwaku."
Charlie nyanyi bersama mereka. Saya tidak dapat mengerti bagaimana anak itu,
yang dalam kesakitan yang begitu amat, dapat menyanyi.
Lima hari setelah saya melakukan operasi tersebut, Charlie memanggil saya,
dan dari dialah saya pertama kali mendengar pesan Injil. "Doktor," ia berkata, "waktu
saya sudah hampir tiba. Saya tidak mungkin dapat melihat matahari terbit besok.
Saya mau mengucapkan terima kasih dengan segenap hati saya untuk kebaikan kamu.
Saya tahu kamu seorang Yahudi, dan bahwa kamu tidak percaya pada Yesus, tapi
saya mau kamu tetap tinggal bersama saya dan melihat saya mati dan terus
mempercayai Juruselamat saya hingga ke saat-saat terakhir hidup saya."
Saya coba untuk tetap bersamanya, tapi saya tidak dapat. Saya tidak punya nyali
untuk berdiri di situ melihat seorang anak Kristen bersukacita dalam kasih
Yesus yang saya benci, di saat maut menjemputnya. Jadi saya dengan terburu-buru
meninggalkan kamar itu. Sekitar 20 menit kemudian, seorang perawat menemukan
saya di kamar dengan tangan saya menutupi wajah saya. Ia memberitahu saya bahwa
Charlie mau bertemu dengan saya. "Saya
baru saja menjenguknya tadi," saya menjawab, "dan saya tidak dapat melihatnya lagi." "Tapi doktor, ia
berkata ia harus melihat kamu sekali lagi sebelum ia mati." Jadi saya
memutuskan untuk pergi dan bertemu dengan Charlie, mengucapkan sedikit
kata-kata kasih sayang dan membiarkan dia mati. Bagaimanapun, saya bertekad
bahwa tidak ada apapun yang dia katakan tentang Yesus-nya itu yang akan
mempengaruhi saya. Ketika saya masuk kembali ke rumah sakit, saya melihat bahwa
fisiknya sedang melemah dengan cepat sekali, jadi saya duduk di sampingnya. Ia
meminta saya memegang tangannya, ia berkata, "Pak doktor, saya mengasihi kamu karena kamu seorang Yahudi. Teman
saya yang paling akrab di dunia ini adalah seorang Yahudi." Saya
bertanya, siapa teman akrabnya itu, dan ia menjawab, "Yesus Kristus, dan saya mau memperkenalkan kamu kepadaNya sebelum
saya mati. Hendakkah kamu berjanji bahwa apa yang akan saya katakan kepada
kamu, tidak akan kamu lupakan?" Saya berjanji, dan ia berkata, "Lima hari yang lalu, ketika Pak doktor
memotong kaki dan lengan saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus dan
meminta Dia untuk menunjukkan kasihNya kepada kamu." Kata-kata itu
sangat menyentuh hati saya. Saya tidak mengerti bagaimana, di saat saya sedang
mengakibatkan rasa sakit yang begitu dahsyat pada dirinya, ia dapat melupakan
dirinya dan tidak memikirkan apa-apa kecuali Juruselamat-nya dan jiwa saya yang
belum bertobat. Yang dapat saya ucapkan pada dia adalah, "Baiklah, anakku sayang, kamu akan segera sembuh." Dengan
kata-kata itu saya meninggalkan dia, dan sekitar 12 menit setelah itu, ia
tertidur, "aman di dalam pelukan
Yesus."
Beratus-ratus prajurit mati di rumah sakit saya sepanjang perang itu, tapi
saya hanya menghadiri satu pemakaman, yaitu pemakaman Charlie Coulson. Saya
bersepeda sejauh 3 batu untuk melihat ia dikuburkan. Saya mengenakan pakaian
seragam yang baru pada tubuhnya dan menempatkan dia dalam peti jenazah khusus
untuk perwira, dan menutupi peti itu dengan bendera Amerika Serikat. Kata-kata
terakhir dari anak ini meninggalkan satu kesan yang mendalam dalam diri saya.
Saya kaya pada waktu itu, namun saya lebih dari rela untuk menyerahkan segala
kekayaan saya untuk dapat merasakan perasaan yang Charlie miliki terhadap
Kristus. Tapi perasaan tersebut tidak dapat dibeli dengan uang. Tidak lama
setelah itu saya melupakan khotbah prajurit Kristen ini tapi saya tidak dapat melupakan
orangnya. Memandang ke belakang, saya sekarang tahu bahwa pada waktu itu saya
berada di bawah cengkeraman rasa bersalah yang sangat mendalam. Selama
hampir 10 tahun saya melawan Kristus dengan segala kebencian seorang Yahudi
Ortodoks, sehingga pada akhirnya doa anak kecil tercinta ini terjawab, dan saya
menyerahkan hidup saya kepada kasih Yesus.
Sekitar satu setengah tahun setelah pertobatan saya, saya menghadiri satu
persekutuan doa pada suatu sore di daerah Brooklyn. Dalam pertemuan ini,
orang-orang Kristen sering menyaksikan tentang kasih sayang Tuhan. Setelah
beberapa orang selesai menyaksikan pengalaman mereka, seorang perempuan tua
berdiri dan berkata, "Teman-teman
yang kukasihi, ini mungkin kali terakhir saya membagikan tentang kebaikan Tuhan
kepada kalian. Kemarin doktor memberitahu saya bahwa paru-paru kanan saya sudah
hampir rusak dan, dan paru-paru kiri juga demikian, saya hanya tinggal waktu
yang sedikit bersama kalian. Namun apa yang tersisa pada saya semuanya milik
Yesus. Satu sukacita yang besar bagi saya karena tidak lama lagi saya akan
bertemu dengan anak saya bersama Yesus di surga. Charlie bukan hanya seorang
prajurit bagi negaranya tapi juga seorang prajurit Kristus. Ia terluka di
pertempuran di Gettysburg, dan dirawat oleh seorang doktor Yahudi, yang
mengamputasi kaki dan lengannya. Ia mati 5 hari telah operasinya. Pendeta
resimennya menulis surat kepada saya dan mengirimkan Alkitab anak saya. Saya
diberitahu bahwa di saat-saat menjelang kematiannya, Charlie memanggil doktor
Yahudi tersebut dan berkata kepada dia, "Lima hari yang lalu, ketika kamu
memotong kaki dan lengan saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus
bagimu."
Seraya saya mendengar perempuan tua itu berbicara, saya tidak dapat berdiam
diri. Saya meninggalkan tempat duduk saya, berlari ke arahnya dan memegang
tangannya dan berkata, "Tuhan
memberkati engkau, saudari yang terkasih. Doa anakmu sudah didengar dan
terjawab! Sayalah doktor Yahudi yang didoakan Charlie, dan sekarang
Juruselamat-nya adalah Juruselamat saya juga! Kasih Yesus telah memenangkan
jiwa saya!"
Sumber: Dikutip dari buku yang
tidak lagi dicetak yang berjudul "Touching Incidents and Remarkable
Answers to Prayer." (Peristiwa yang Menyentuh Hati dan Jawaban-jawaban Doa
Yang Ajaib)
No comments:
Post a Comment